Thursday, May 31, 2007

UPAYA MENCEGAH PERTIKAIAN ANTARETNIS
MELALUI KONSEP PEMBANGUNAN YANG MEMIHAK
MASYARAKAT PEDESAAN


PENDAHULUAN

1. Umum. Dunia saat ini telah memasuki suatu kurun waktu yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdefendensi) antar bangsa yang semakin mendalam serta globalisasi dan saling keterkaitan antar masalah yang semakin erat. Berkat kemajuan-kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, dunia terasa semakin menciut dan batas-batas negara semakin kabur. Peradaban umat manusia dewasa ini tengah memulai suatu masa peralihan, suatu zaman pancaroba yang berkepanjangan dan serba tidak menentu. Sendi-sendi tatanan politik dan ekonomi internasional, yang terbentuk seusai Perang Dunia II, mulai berguguran, sedangkan suatu tatanan dunia baru masih sedang mencari bentuknya dan masih jauh dari mapan. Bangsa-bangsa, negara-negara dan lembaga internasional pun tanpa kecuali harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan sedang terus berubah sedemikian drastisnya.

Kecenderungan perkembangan dunia di masa yang akan datang akan diwarnai dengan terjadinya persaingan dalam bidang ekonomi yang sangat ketat, pasar bebas dan sistim proteksionisme serta perebutan sumber daya alam yang akan menjadikan dunia ini sebagai lahan eksploitasi besar-besaran. Hal ini akan menyebabkan terjadinya benturan kepentingan antar negara-negara di dunia dengan langkanya sumber daya yang ada dan harus diperebutkan. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di daerah Kathulistiwa terletak diantara dua samudera yaitu Samudera India dan Samudera Pasifik serta menghubungkan dua benua Asia dan Australia kaya akan berbagai hasil tambang, flora dan fauna serta kekayaan hasil laut lainnya. Di lain pihak karena pengaruh kondisi sosial serta adanya tekanan dari dunia internasional, maka potensi yang ada tersebut semakin berkurang dan tidak memungkinkan secara optimal pemanfaatan potensi yang ada untuk kepentingan masyarakat.
/TNI AD. . . . . . . .
TNI AD sebagai salah satu unsur pembina teritorial dengan Korem 102/PP sebagai Sub-kompartemen Strategis di wilayah Kalimantan Tengah dalam pelaksanaan kegiatannya akan berhadapan dengan potensi geografi, demografi dan kondisi sosial masyarakat dalam mewujudkan potensi juang manjadi kekuatan juang. Dalam pelaksanaan kegiataan Binter tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar dan dalam dengan segala kelemahan, kekuatan, kendala dan peluang yang ada. Dengan pembatasan tersebut tulisan ini mencoba mencari solusi tentang upaya pembinaan teritorial di wilayah Korem 102/PP melalui penganalisaan terhadap permasalahan Binter yang ada dan kemungkinan perkembangan dimasa depan dengan tetap berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan petunjuk lain yang ada.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Memberikan gambaran tentang upaya pembinaan teritorial di wilayah Kalimantan Tengah sebagai wilayah Binter Korem 102/PP.

b. Tujuan. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan dalam pembinaan teritorial di wilayah Korem 102/PP dimasa mendatang.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Lingkup penulisan ini meliputi pokok-pokok Binter dilingkungan Korem 102/PP dihadapkan dengan perkembangan situasi saat ini dan prediksi masa depan, dengan tata urut sebagai berikut :
a. Pendahuluan.
b. Kondisi Binter Saat Ini.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi.
d. Analisis Permasalahan.
e. Upaya Peningkatan Pelaksanaan Binter.
f. Kesimpulan dan Saran.
g. Penutup.

4. Metoda dan Pendekatan. Tulisan ini menggunakan metode diskriptif analisis dengan pendekatan pengamatan langsung dilapangan.
/5. Pengertian. . . . . . . .
5. Pengertian.

a. Pola budaya Petik jual menjadi Olah, Tanam, Petik dan Jual. Budaya petik jual adalah pola kebiasaan masyarakat yang bersifat tradisional dalam memanfaatkan hasil hutan yang ada melalui cara pemepetikan, pengumpulan, penyadapan dan kegiatan serupa lainnya lalu hasil hutan tersebut langsung dijual tanpa proses lanjutan. Pola budaya yang ditawarkan adalah pola budaya membudidayakan kekayaan hutan yang ada pengolahan lahan, penanaman, memetik hasilnya kemudian dijual. Dengan cara ini akan terjadi kesinambungan dalam produksi dan memiliki nilai tambah.

b. Pola budaya Tebang Jual menjadi Tanam, Olah, Pelihara, Tebang dan Jual. Pola budaya ini hampir sama dengan pola budaya diatas hanya berlaku untuk hasil hutan berupa kayu.

c. Pola budaya Pengolahan barang setengah jadi menjadi barang Eksport. Pola budaya masyarakat yang mengolah hasil hutan hanya berupa barang setengah jadi seperti playwood dan lain-lain selanjutnya diupayakan menjadi barang untuk kepentingan eksport. Pola budaya eksport akan menghasilkan nilai tambah yang jauh lebih besar.

d. Pola budaya pengolahan lahan berpindah menjadi menetap. Selama ini masyarakat Dayak melaksanakan pengolahan hutan secara berpindah-pindah melalui proses pembukaan lahan, mengolah lahan, penanaman dan panen. Setelah lahan tidak subur, mereka berpindah tempat mencari lahan yang subur. Cara ini perlu diganti dengan cara tehnik pengolahan lahan menetap dengan tehnik yang lebih moderen.

e. Kelompok Leason di Pemda. Adalah sejumlah personil TNI yang ditempatkan di lingkungan Pemda Tingkat I dan II yang bertindak sebagai penghubung kepentingan TNI setelah dilaksanakannya otonomi daerah secara penuh, guna mengantisipasi kebuntuan komunikasi akibat diterapkannya sistim otonomi daerah secara penuh.
/KONDISI. . . . . . . . .
KONDISI BINTER SAAT INI

6. Umum. Pelaksanaan Binter saat ini, khususnya di wilayah Korem 102/PP berpedoman pada peraturan perundang-undangan, ketentuan hukum, budaya dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat serta ketentuan lain yang ada di lingkungan TNI. Secara teori masalah Binter yang meliputi unsur Geografi, Demografi dan Kondisi Sosial setempat, namun demikian dalam pelaksanaannya masalah personil dan piranti lunak sebagai pelaksana dan perangkat pengendali sangat menentukan pelaksanaan Binter di lapangan. Untuk lebih memahami tentang kondisi obyektif Binter di wilayah Korem 102/PP dihadapkan pada unsur-unsur tersebut akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.

7. Kondisi Geografi. Wilayah tanggung jawab pembinaan Korem 102/PP meliputi seluruh wilayah Propinsi Kalimantan Tengah dengan luas 15.356.400 Ha yang sebagian besar terdiri dari hutan terbagi dalam dua kawasan yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan Khusus. Wilayah Korem 102/PP terdiri dari enam Kodim dan tujuh puluh enam Koramil dengan batas sebelah Utara dan Barat Propinsi Kalimantan Barat, sebelah Utara dan Timur Propinsi Kalimantan Timur dan sebelah Selatan Laut Jawa. Sebagaian besar wilayah terdiri dari hutan yang merupakan sumber kekayaan alam Kalimaantan Tengah dengan hasil utama berupa kayu. Sumber lain berupa perkebunan, pertambangan, pertanian dan perikanan terbatas dibeberapa kawasan bagian selatan. Sedangkan hutan lebat dengan dataran tinggi dan pegunungan berada di bagian Utara yaitu Pegunungan Schwaner dan Pegunungan Muller. Kondisi medan yang terpotong-potong oleh sungai sekaligus merupakan sarana transportasi sungai dan kurangnya sarana transportasi darat merupakan hal menonjol di Kalimantan Tengah [1].

8. Kondisi Demografi. Jumlah penduduk Kalimantan Tengah sekitar 1.685.535 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 9 jiwa/ km persegi dengan tingkat penyebaran penduduk yang tidak merata dan sebagaian besar berada di kota-kota persisir dengan urut kepadatan Kabupaten Kapuas, Kotawaringin Timur dan Kota Waringin Barat. Kualitas sumber daya manusia di Kalteng relatif rendah dan sebagaian besar masyarakat hidup dari pengumpul hasil hutan dan perkebunan.
/Dilihat. . . . . . . . .
Dilihat dari komposisi penduduk dalam lapangan pekerjaan terdiri dari 768.747 orang tenaga kerja dengan tingkat pendidikan masyarakat terdiri dari sarjana 11.529 orang, Akademi/ diploma III 7.337 orang, Diploma I/II 5.151 orang, SMU dan sederajat 81.877 orang, SMLA Kejuruan 46.962 orang SLTP dan sederajat 136.662 orang, SD dan sederajat 439.707 orang dan yang tidak berpendidikan 39.552 orang [2].


9. Kondisi Sosial. Secara umum kondisi sosial masyarakat Kalteng relatif stabil berdasarkan kejadian sekitar krisis ekonomi dan Pemilu 1999 yang baru lalu. Pancasila sebagai Dasar Negara diterima tetapi dalam aplikasinya masing kurang baik. Masyarakat dalam Pemilu 1999 sebagian besar menyalurkan aspirasi politiknya sesuai pilihan hati nuraninya. Sebagai pengumpul hasil hutan perekonomian masyarakat sangat tergantung dari hasil hutan yang mampu dikumpulkan. Masyarakat dalam mengumpulkan hasil hutan memiliki budaya “tebang jual” dan “petik jual”. Permasalahan hutan saat ini sedang serius dilaksanakan penertiban terhadap para penebang liar yang beroperasi merusak hutan lindung dan Taman Nasional yang ada di daerah Kalteng. Sedangkan dalam pola bercocok tanam masyarakat memiliki pola budaya “ ladang berpindah-pindah”. Disamping itu masyarakat juga memiliki kebiasaan menambang emas secara tradisional yang saat ini sedang marak dan menimbulkan masalah berupa perusakan lingkungan. Kasus SARA relatif menonjol terutama antarmasyarakat asli dan pendatang [3].


10. Kondisi Aparat Teritorial. Kualitas dan kuantitas aparat teritorial yang ada saat ini rata-rata tidak memenuhi kebutuhan organisasi dan kualifikasi yang harus dipenuhi. Kekurangan personil dilihat dari kepangkatan sekitar 37,18 % terjadi baik pada level Pamen sekitar 46,16 %, Pama sekitar 49,37 % Bintara sekitar 49,96 % dan Tamtama sekitar 27,95 %. Sedangkan pada komposisi jabatan yang paling menonjol adalah kekurangan Babinsa sekitar 28,48 %. Secara kualitatif masih banyak personil yang belum pernah mengikuti pendidikan teritorial. Data tentang kondisi personil Korem 102/PP sesuai lampiran.[4]



/11. Kondisi. . . . . . .
11. Kondisi Piranti Lunak. Buku petunjuk tentang teritorial ada disetiap satuan setingkat Kodim dan Korem dengan kondisi cukup memadai. Permasalahannya adalah terletak pada peran teritorial yang dilaksanaan oleh Korem 102/PP saat ini terasa surut setelah isu reformasi dengan munculnya Polri sebagai aparat yang di kedepankan dalam menghadapi setiap gejolak yang muncul akhir-akhir ini. Dengan adanya Paradigma Baru Peran TNI, yang dapat diartikan TNI tidak lagi melaksanakan praktek “day to day politic” seperti dahulu, dinilai oleh sebagian masyarakat bahwa TNI sudah mundur dari segala aspek sosial politik. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mempertanyakan keterlibatan Korem 102/PP dan jajarannya dalam melaksanakan berbagai kegiatan Binter di wilayah Korem 102/PP [5].


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

12. Umum. Era globalisasi telah memunculkan isu demokratisasi, lingkungan hidup dan HAM, yang telah mendorong terjadinya perubahan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan wilayah Kalteng sebagai wilayah Binter Korem 102/PP. Perubahan tersebut baik yang disebabkan oleh faktor intern dan ekstern berpengaruh terhadap pelaksanaan Binter yang akan dilakukan di wilayah Korem 102/PP. Sejauh mana faktor -faktor tersebut berpengaruh akan dibahas dalam tulisan berikut ini.

13. Faktor Ekstern.

a. Kendala. Perkembangan situasi dunia saat ini dengan isu globalnya dan perkembangan situasi dalam negeri Indonesia dengan era Reformasinya telah memunculkan tokoh-tokoh intelektual yang berpikiran kritis dan ingin membawa Indonesia dalam suasana sistim Liberal. Indikasi kearah ini sangat jelas kelihatan, berupa keberanian untuk menghujat jajaran suprastruktur yang ada dan bahkan tanpa kecuali infrastruktur sekalipun. Hal semacam ini sangat tidak mungkin diketemukan pada era sebelum reformasi.

/Adapun. . . . . . . .
Adapun hasilnya adalah berupa dihapuskannya Dwifungsi ABRI dan saat ini masih dalam perjuangan mereka adalah untuk menghilangkan peran teritorial dan intelijen TNI, untuk selanjutnya dialihkan kepada peran tersebut kepada pemerintahan sipil. Tekanan masyarakat internasional terhadap keberadaan TNI di Indonesia diarahkan pada masalah pelanggaran HAM, sehingga TNI menjadi sangat tidak populer`di mata masyarakat Indonesia. Pada tingkat daerah isu reformasi terutama dengan dihapuskannya fungsi Sospol telah memberikan penilaian yang keliru dalam melihat Korem 102/PP dan jajarannya sebagai aparat teritorial

b. Peluang. Masyarakat internasional sebenarnya sangat menginginkan Indonesia dalam keadaan aman dan stabil, mengingat aset saham mereka cukup banyak di Indonesia. Mereka tidak mau kehilangan asetnya dan sekaligus pasar mereka yang potensial di Indonesia. Dengan demikian mereka sangat membutuhkan adanya TNI untuk dapat menjamin keamanan aset dan potensi pasarnya. Sementara itu masyarakat sipil di Indonesia sangat menyadari keberadaan TNI terlebih dalam situasi Indonesia saat ini yang terancam dalam situasi disintegrasi. Kehadirian TNI ditengah masyarakat masih sangat dibutuhkan baik untuk memerankan fungsi Hankam maupun fungsi sosial yang selama ini ditentang oleh sebagian masyarakat intelektual Indonesia. Dalam hal ini kehadiran TNI di daerah sangat dibutuhkan untuk mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kegiatan manunggal TNI seperti yang selama ini dilaksanakan di wilayah Korem 102/PP.

14. Faktor Intern.

a. Kelemahan. Masa lalu TNI yang telah memainkan peran dalam kehidupan politik praktis dengan kedekatannya pada salah satu kekuatan sosial politik telah merusak citra TNI waupun dilakukan oleh sebagaian kecil personil TNI yang memiliki interes tertentu pada masalah politik. Dalam aplikasi kegiatan Binter diakui masih banyak terjadi penyimpangan karena faktor kesalahan manusianya belaka. Kualitas sumber daya manusia TNI tidak sepenuhnya dapat menunjang program kebijaksanaan pinpinan TNI. Piranti lunak yang ada cenderung tidak bisa menyesuaikan dengan tuntutan keadaan.
/Timbulnya. . . . . . . .
Timbulnya pemikiran kreatif dari personil TNI yang ingin melihat doktrin TNI dapat menyesuaikan dengan tuntutan keadaan yang berubah dengan pesat cenderung dilihat dari kaca mata negatifnya saja.

b. Kekuatan. Keberadaan TNI sampai dengan saat ini sangat solid baik dalam hal organisatoris, maupun dukungan terhadap program kegiatannya yang dirasa masih sangat menunjang citra TNI, baik di mata dunia internasional maupun di tingkat nasional dan daerah. Dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI sebenarnya telah menimbulkan kekuatan baru dalam diri personil TNI secara keseluruhan. Personil tidak lagi ragu-ragu dalam bertindak sebab visi dan misi TNI sangat jelas untuk kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di lain pihak TNI khususnya TNI AD dan jajaran binaannya di daerah memiliki aset berupa yayasan yang apabila dimanfaatkan secara optimal mampu mendukung kegiatan Binter di daerah seperti menunjang pembuatan sarana dan prasarana jalan, pembukaan areal perkebunan dan lain sebagainya.


ANALISIS PERMASALAHAN

15. Umum. Mencermati masalah yang ada dalam Binter di daerah saat ini dihadapkan pada perkembangan situasi dengan berbagai faktor yang mempengaruhi, merupakan formulasi yang sangat penting untuk menemukan akar permasalahan Binter sebenarnya. Sejauh mana kemampuan mencermati dan memilah duduk permasalahannya, sangat tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengaplikasikan teori Binter dihadapakan pada tuntutan perkembangan masyarakat di daerah yang tentunya juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat nasional dan global. Pesatnya perkembangaan Ilmu Pengetahuan melalui sarana transportasi dan komunikasi yang semakin maju, menjadikan upaya-upaya untuk menutupi kejadian yang ada, membatasi kebebasan masyarakat dan memberikan masyarakat sesuatu yang bersifat indoktrinasi sudah tidak saatnya lagi. Dengan mencermati masalah Binter dilihat dari kondisi obyektif Binter saat ini dan berbagai faktor yang mempengaruhi, proses penganalisaan ini mencoba mencari solusi Binter yang sahih dimasa depan khususnya di wilayah Korem 102/PP.
/16. Permasalahan. . . . . . .
16. Permasalahan Geografi. Luas wilayah tanggung jawab Binter yang dilaksanakan Korem 102/PP yang hampir sama dengan luas Pulau Jawa dan Pulau Bali memiliki berbagai permasalahan yang ada didalamnya, seperti kondisi medan yang ditutupi oleh hutan lebat dan keterbatasan jaring-jaring jalan sebagai prasarana transportasi darat. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan dalam pelaksanaan Binter dengan adanya keterbatasan personil dan sarana serta prasarana transportasi yang tersedia. Letak desa dan perkampungan masyarakat yang tersebar dan kebiasaan melaksanakan pola budaya ladang berpindah sangat menyulitkan dalam program pembinaan. Kondisi ini merupakan masalah yang ada dalam upaya Binter yang dilakukan Korem 102/PP di daerah Kalteng.

Medan yang terpotong oleh sungai-sungai lebar sekaligus merupakan prasarana trasportasi sungai, tetapi tidak didukung oleh sarana yang memadai. Pada umumnya masyarakat melaksanakan berbagai kegiatan sehari-hari disepanjang aliran sungai termasuk membuat rumah dan sumber mata pencahariannya. Dihadapkan pada kondisi medan dan kebiasaan hidup masyarakat di aliran sungai tersebut, maka ada permasalahan khusus yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan Binter. Permasalahaan tersebut adalah sulitnya mengumpumpulkan masyarakat yang bermukim disepanjang aliran sungai, karena pekerjaan mereka sangat beragam seperti bertambang emas, menangkap ikan, berjualan, penjual jasa sebagai pengemudi Speed Boat dan pengumpul hasil hutan. Pekerjaan yang beragam tersebut masing-masing memiliki dinamika dengan mobilitas yang tinggi dan menyita waktu yang relatif penuh selama dua puluh empat jam. Mengumpulkan mereka untuk bertemu dalam satu tempat secara bersama-sama sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Kondisi permukaan geografi sebagaian besar berupa dataran rendah dengan bahan permukaan berupa pasir dengan ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon dan semak belukar, sehingga pada musim hujan menjadi rawa-rawa karena tergenang oleh air dan pada musim kering akan menjadi lahan gambut. Bagian Utara berbatasan dengan Propinsi Kalbar dan Kaltim merupakan pegunungan yang ditutupi hutan lebat dan sebagian besar merupakan hutan lindung. Kondisi alam ini memiliki karakter yang sangat berpengaruh terhadap upaya pembinaan Binter yang dapat dilakukan.

/PemanPaatan. . . . . . . .
Pemanfaatan lahan gambut sudah terbukti membutuhkan biaya tinggi dan tehnik pengolahan yang belum dikuasai oleh masyarakat setempat maupun para transmigran, sehingga secara optimal lahan ini masih belum mampu dijadikan sumber logistik wilayah. Sementara itu pada bagian pegunungan yang tanahnnya relatif subur masih tertutup dengan hutan lebat dan merupakan hutan lindung, sebagai penyangga air hujan dalam jangka panjang perlu dilestarikan. Pemanfatan lahan ini untuk sumber logistik daerah juga membutuhkan kesepakatan antar instansi dan akan memakan waktu cukup lama. Keberadaan yayasan TNI AD dengan badan usaha yang telah cukup kuat dalam usaha di bidang bisnis, sangat dibutuhkan untuk mengatasi hambatan yang mungkin timbul.

Sumber daya alam yang menonjol adalah hasil hutan, hasil perkebunan, hasil penangkapan ikan sungai dan bahan tambang seperti emas, batubara dan galian C. Dengan sumber alam yang ada tersebut dihadapkan pada kemungkinan untuk menjadi logistik wilayah pada situasi perang tidak dapat diharapkan sepenuhnya, karena sumber daya alam tersebut tidak potensial untuk logistik wilayah. Kebutuhan bahan pokok seperti sembako selama ini sebagaian besar didatangkan dari luar daerah. Keberadaan transmigrasi di wilayah Kalteng masing belum maksimal mampu memenuhi kebutuhan bahan pokok seperti beras dan bahan karbohidrat lainnya serta sayur-sayuran. Prasarana penunjang lainnya seperti perindustrian yang ada, sebagian besar perusahan-perusahan kayu dan kerajinan tangan seperti meuble juga tidak menunjang pembianaan logistik wilayah. Disamping itu disposisi enam Kodim yang bertindak selaku pelaksana Binter di Daerah Tingkat II sangat tersebar dengan jarak rata-rata antar Kodim sekitar 175 Km jalan darat. Di sisi lain sarana komunikasi dibeberapa daerah masih belum terjangkau dengan kemampuan sarana komunikasi yang ada. Kondisi ini sangat mempengaruhi komando dan pengendalian dalam pelaksanaan Binter.

Dari semua pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyiapan potensi geografi menjadi kekuatan geografi dalam rangka menciptakan ruang dan alat juang masih membutuhkan waktu dan kerja sama antar instansi yang baik dan terpadu dikemudian hari. Sehingga dalam aplikasi untuk penyiapan daerah pangkal perlawanan yang didukung dengan jaring jalan, logistik wilayah dan sarana pendukung lainnya dapat terwujud dengan maksimal.
/17. Permasalahan. . . . . . . .
17. Permasalahan Demografi. Wilayah Kalteng memiliki karakter demografi yang berbeda dengan wilayah lain di luar Kalimantan. Komposisi etnis sangat berimbang atara penduduk asli dari suku Dayak dengan masyarakat pendatang seperti suku Jawa, suku Banjar, suku Madura dan lain-lainnya. Kondisi ini mengandung kerawanan dimasa depan dengan prediksi perkembangan kemajuan yang dialamai oleh masing-masing etnis akan berbeda. Etnis pendatang yang secara mental siap menghadapi segala kemungkinan hidup sebagai akibat terdesak oleh situasi hidup yang sulit diarah asal, akan memiliki motifasi kuat untuk lebih cepat maju.

Disamping itu etnis pendatang memiliki dasar yang lebih baik dalam kualitas pendidikan, pengalaman kerja dibidang tertentu dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Sementara itu masyarakat dari etnis Dayak relatif statis kerena terlalu lama dimanja oleh alam dan kurangnya persaingan hidup disamping kesempatan untuk mengenyam pendidikan masih kurang baik karena berbagai hambatan geografis. Apabila ketimpangan ini terus berlanjut maka suatu saat akan menjadi masalah sosial yang besar antaretnis, karena kecemburuan sosial dan perasaan tersisih dan bahkan muncul menjadi perasaan terjajah.


Sementara itu penyebaran penduduk yang tidak rata dan masih terisolasi dengan keadaan alam yang berat dan ketiadaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai menjadi kendala dalam melaksanakan kegiatan Binter. Kondisi ini diperparah lagi dengan kuatnya kultur budaya dari etnis tersebut disamping adanya perbedaan bahasa sebagai media perantara. Masing-masing etnis cenderung menggunakan bahasa daerahnya masing-masing bila berbicara dengan sesamanya. Penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat Dayak sangat terbatas karena mereka kurang menguasai yang dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan dan kesempatan pendidikan terbatas. Keadaan ini selain sulit melakukan pembinan dimana sebagian besar aparat kita bukan dari etnis Dayak, juga menyulitkan dalam rangka pembauran budaya antar etnis yang ada di wilayah Kalteng.


/Dilihat. . . . . . . .

Dilihat dari kualitas sumber daya manusia di Kalteng yang masih relatif rendah dihadapkan pada upaya untuk mengolah potensi sumber daya alam yang tersedia, merupakan permasalahan yang harus dipecahkan bersama. Implikasi dari keadaan ini mengharuskan untuk mendatangkan masyarakat pendatang di segala sektor untuk percepatan peningkatan sumberdaya manusia Kalteng, tetapi disisi lain dapat berdampak sosial seperti adanya perasaan tersisih dan terjajah dari masyarakat etnis Dayak. Dilema ini harus segera dituntaskan agar tidak berkembang menjadi berlarut-larut yang pada akhirnya akan sangat merugikan integritas persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

18. Permasalahan Kondisi Sosial. Hal menonjol dalam permasalahan kondisi sosial di Kalteng meliputi masalah politik, ekonomi dan sosial budaya. Pada konteks politik saat ini sedang berkembang isu putra daerah dalam pemilihan kepala daerah. Kelompok masyarakat yang mendukung isu putra daerah ini terdiri dari intelektual masyarakat Dayak sebagai akibat kekecewaan mereka pada kebijaksanaan masa lalu yang dianggap tidak adil dan kurang aspiratif. Isu putra daerah ini benar-benar akan menjadi masalah karena cara-cara yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Dayak ini lebih bersifat pemaksaan kehendak dengan ancaman akan menggunakan cara-cara inkonstitusional bila kehendak mereka tidak tercapai. Dalam melaksanakan aksi mereka cenderung militan dan konserfatif dengan berupaya untuk menghindari cara-cara musyawarah.

Semetara itu dalam bidang ekonomi yang menjadi permasalahan adalah kekurang tersedianya kebutuhan pokok yang dapat dihasilkan daerah Kalteng seperti beras dan bahan karbohidrat lainnya. Di lain pihak kebutuan sembilan bahan pokok yang dipasok dari luar daerah mengalami hambatan karena sangat tergantung sarana dan prasarana transportasi. Resiko dari hal ini maka harga kebutuhan bahan pokok relatif mahal dan butuh waktu dalam penyalurannya. Namun di lain pihak adanya pertumbuhan yang pesat di sektor pengolahan hasil hutan, perkebunan, pertambangan dan sektor lainnya masih memungkinkan masyarakat untuk mampu membeli kebutuhan pokok tersebut. Kondisi ini akan berubah apabila sektor-sektor tersebut mengalami gangguan atau tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka akan memunculkan permasalahan baru yang sulit ditangani dalam waktu cepat.


/Mengantisipasi. . . . . . . . .
Mengantisipasi kemungkinan yang paling jelek dan untuk penyiapan sumber bahan pokok dalam jangka panjang, mau tidak mau harus berorientasi pada penyiapan lahan pertanian, perkebunan dan perikanan yang terencana dengan baik sehinggaa mampu menghadapi berbagai kemungkinan terburuk seperti krisis moneter yang baru lalu melalui pembudidayaan usaha.

Permasalahan sosial yang lainnya adalah menyangkut masalah kultur budaya masyarakat Kalteng yang sangat dipengaruhi oleh kondisi alam. Masyarakat yang sangat tergantung penghidupannya pada alam yaitu hasil hutan, hasil tambang, penangkapan ikan di sungai dan berbagai kemudahan lainnya telah melahirkan pola budaya “tebang jual”, petik jual”, “tangkap jual” dan “tambang jual”. Pola budaya ini sangat tradisonal dan memiliki kelemahan yang sangat mendasar serta tidak ada kemampuan bersaing dihadapkan pada tantangan masa depan. Budaya semacam ini tidak mencerminkan tuntutan teknologi sebagai persaratan untuk mengikuti perkembangan jaman. Apabila hal ini tidak diadakan perubahan dalam pola budaya masyarakat Kalteng maka masyarakat Kalteng akan tertinggal jauh dengan masyarakat lainnya di Indonesia yang sudah puluhan tahun meninggalkan budaya tersebut. Menyepakati komitmen agar masyarakat Kalteng berkembang maju seiring dengan perkembangan masyarakat di daerah lainnya di Indonesia, maka dibutuhkan adanya kebijakan Pemerintahan Daerah yang mengacu pada program perubahan pola budaya masyarakat dalam menyikapi kondisi sumber daya alam di Kalteng yang semakin hari semakin menipis.

19. Permasalahan Personil. Secara keseluruhan personil teritorial yang ada sangat terbatas dan tidak didukung oleh kemampuan yang memadai. Dengan kondisi kualitas dan kuantitas yang kurang tersebut dan dihadapkan pada tantangan geografi, maka lengkaplah ketidak mampuan personil dalam melakukan Binter sesuai dengan sasaran yang ditentukan oleh satuan atasan. Secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa keberadaan personil Babinsa di tiap-tiap koramil baru mencukupi sekitar 71,52 % dengan dilatar belakangi kemampuan rata-rata 45,21 % telah mengikuti pendidikan teritorial. Dengan keterbatasan personil baik dari kualitas maupun kuantitas, maka akan menimbulkan stagnasi dalam pembinaan personil teritorial itu sendiri.

/Hal. . . . . . . .
Hal ini disebabkan karena pimpinan ada unsur keengganan melakukan pembinaan yang disebabkan jumlah personil yang sedikit dan untuk berkumpul di Kodim dibutukan waktu relatif lama, bahkan ada yang sampai satu atau dua minggu. Sementara itu untuk memberikan kesempatan pada personil mengikuti pendidikanpun menjadi terbatas karena ada rasa ketakutaan unsur pimpinan ditinggal oleh anggotannya. Ada implikasi lain dari keadaan ini adalah pengaturan “tour of area” makin jarang dilakukan karena terbentur masalah biaya dan ketersediaan sarana dan prasarana perumahan. Dampak dari kondisi ini dapat menimbulkan efek sampingan berupa timbulnya ekses-ekses negatif dari pergaulan personil teritorial di wilayah binaannya. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya perubahan, maka keterpurukan TNI saat ini, akan bertambah lengkap dan tidak menuntut kemungkinan peran teritorial TNI dimasa depan akan mengalami hal yang sama dengan rekannya yaitu peran sospol yang bisa dikatakan sudah lengser saat ini.

20. Permasalahan Piranti Lunak. Dilingkungan TNI sampai saat ini ada kecenderungan merasa tabu dan menganggap sakral doktrin yang kita miliki. Perwira TNI AD yang telah menempuh jenjang pendidikan tertinggi diangkatannya telah dibekali dengan berbagai berbagai disiplin ilmu. Para perwira cenderung tidak dapat mengaplikasikan diplin ilmu yang didapat pada masalah-masalah tertentu atau dengan alasan tertentu ada unsur kesengajaan untuk mempertahankan demi kepentingan tertentu, tanpa mampu melihat perkembangan keadaan di masa depan. Saat ini masyarakat sudah berani mempermasalahkan peran teritorial TNI dengan mengatakan bahwa peran teritorial merupakan peran pemerintahan sipil dan apabila Indonesia benar-benar ingin menjadi negara demokrasi, maka peran tersebut dengan sukarela harus diserahkan oleh TNI. Tuntutan sebagaian masyarakat yang tergabung dalam kelompok masyarakat intelektual tidak dapat dianggap sepele. TNI di masa depan tidak lagi dapat bersandar pada komposisi “silent majority” masyarakat kita saat ini. TNI seharus mampu merubah komposisi “silent majority” masyarakat saat ini menjadi sebaliknya dan mendukung TNI, kalau TNI benar-benar memiliki komitmen sebagai katalisator pembangunan. Kembali pada masalah doktrin, khususnya dibidang teritorial dihadapkan pada tuntutan masyarakat saat ini dan antisipasi perkembangan di masa depan, kiranya perlu dilakukan peninjauan kembali doktrin TNI dalam pelaksanaan Binter khususnya pada nilai-nilai ekstrinsiknya atau pada nilai-nilai aplikatifnya.

/UPAYA. . . . . . . .
UPAYA PENINGKATAN PELAKSANAAN BINTER

21. Umum. Menyimak berbagai kondisi nyata Binter saat ini dihadapkan pada faktor yang mempengaruhi dan melalui proses penganalisaan, maka dapat diketemukan upaya optimalisasi Binter yang mengacu pada kebutuhan daerah sesuai dengan perkembangan masa depan. Optimalisasi kegitan Binter masih berkisar pada masalah yang mendasar dalam bidang kebinteran dengan mengedepankan aktualisasi kegiatan untuk antisipasi kedepan. Dengan masih berorientasi pada permasalah teritorial baik pada unsur geografi, demografi, kondisi sosial, personil teritorial dan doktri, maka optimalisasi Binter secara lengkap dapat dituangkan dalam bentuk sebagai mana dibahas berikut ini

22. Penyiapan Pangkal Perlawanan. Dalam rangka penyiapan kekuatan juang, maka aplikasi yang paling memungkinkan dalam merubah ruang, alat dan kondisi juang adalah dengan penyiapan daerah pangkal perlawanan sesuai dengan kondisi wilayah dan kemungkinan ancaman yang dihadapi serta tantangan masa depan. Hal yang paling mendasar dalam penyiapan daerah pangkal perlawanan di Kalteng adalah pembuatan jaring jalan dan pembuatan lumbung desa. Dalam pembuatan jaring jalan yang selama ini sangat sulit mencari investor yang mau menangani, maka dapat ditempuh dengan kegiatan terpadu dengan pembuatan lumbung-lumbung desa dalam bentuk pencetakan persawahan, perkebunan, dan berbagai sumber alam yang mampu menyiapkan kebutuhan pokok dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hambatan yang dihadapi dalam penyiapan lahan pertanian adalah ketidaktersediaan jaring irigasi dan kondisi tanah yang kurang tepat dibeberapa tempat, seperti kandungan unsur organik tanah yang terlalu asam dapat diselesaikan dengan cara kerjasama dengan instansi lain dan program pompanisasi. Dengan program pompanisasi, maka hambatan pengairan dapat diatasi tanpa merusak sarana transortasi sungai yang ada. Mengingat TNI AD memiliki yayasan yang mengelola berbagai kegiatan bisnis, dapat dilakukan pembuatan jaring jalan dan sekaligus membuka lumbung-lumbung pangan seperti perkebunan, persawahan dan lain lain faktor penunjang yang memungkinkan. Dalam operasionalnya perlu melibatkan semua pihak yang terkait di daerah.

/23. Mencanangkan. . . . . . . .
23. Mencanangkan Program Pembauran dan Pembangunan. Mengantisipasi timbulnya gejolak sosial di kemudian hari dan dalam rangka percepatan proses pembangunan wilayah Kalteng melalui program transmigrasi yang telah dilaksanakan saat ini perlu diadakan pembauran dalam komposisi masyarakat. Konsep yang telah dicanangkan oleh Departemen Transmigrasi berupa program transmigrasi Nusantara perlu direalisasikan secara nyata di Kalteng untuk menembus kebuntuan pembangunan masyarakat pedalaman. Dengan penerapan program transmigrasi nusantara ini maka program menuju pembauran dan pembangunan dapat dilaksanakan.

24. Merubah pola budaya masyarakat. Kondisi alam di Kalteng kaya dengan sumber daya alam seperti hutan yang luas dengan berbagai jenis hasil hutan, beberapa jenis bahan tambang dan kekayaan alam lainnya. Kekayaan alam yang ada di Kalteng selama ini oleh masyarakat Kalteng dikelola secara tradisional. Kebiasaan masyarakat Kalteng mengelola sumber daya yang ada secara tradisional telah membuat masyarakat Kalteng terbiasa hidup manja dengan kekayaan alam yang tersedia. Kebiasaan yang sudah menjadi pola budaya dalam mengelola sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus segera dirubah demi masa depan masyarakat Kalteng sendiri. Hal ini perlu dilakukan mengingat sumber daya yang ada sangat terbatas dan suatu saat akan habis. Dilain pihak masyarakat terus bertambah dan kebutuhan hidup semakin banyak, sehingga kekayaan alam yang tersisa tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Mengantisipasi makin menipisnya sumber daya alam yang tersisa, dihadapkan pada upaya memenuhi kebutuhan hidup dimasa depan, maka perlu adanya perubahan pola budaya masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Adapun pola budaya yang dirubah adalah sebagai berikut :

a. Pola Petik Jual menjadi Olah, Tanam, Petik dan Jual. Masyarakat Kalteng selama ini sudah terbiasa hidup dari hasil hutan dengan cara memetik (mengambil) hasil hutan lalu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebiasaan ini perlu dirubah dengan pola budaya Olah, Tanam, Petik dan Jual. Pola budaya ini akan memberikan keuntungan kompetitif dengan didukung oleh tehnik bertani yang moderen dan membutuhkan keahlian serta dana yang memadai.


/b. Pola. . . . . . .

b. Pola Tebang Jual Menjadi Olah, Tanam, Tebang dan Jual. Pemanfaatan hasil hutan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kalteng dan para perusahaan pengelola Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) dan perusahan sejenis lainnya saat ini hanya sistim tebang jual saja. Kewajiban untuk menanam kembali dan program reboasasi dari pemerintah hanya bersifat teoritis dan sekedar untuk persaratan mendapatkan HPH. Keadan ini harus segera dihilangkan dengan cara merubah kebiasaan masyarakat dari “Tebang Jual” menjadi “Olah, Tanam, Tebang dan Jual”. Dengan cara ini pemeliharaan hutan untuk kepentingan jangka panjang dapat terjamin.

c. Pola Pengolahan Barang Setengah Jadi Menjadi Barang Eksport. Wilayah Kalteng kaya dengan berbagai sumber daya alam utamanya hasil hutan seperti kayu rotan dan berbagai jenis hasil hutan lainnya. Selama ini hasil hutan tersebut diolah setengah jadi seperti kayu gergajian, serat rotan dan hasil olahan kayu seperti playwood yang sebagian besar dijual antar daerah. Dalam rangka memberikan nilai tambah yang lebih pada masyarakat Kalteng sudah selayaknya pengolahan barang setengah jadi tersebut diupayakan menjadi barang siap eksport dengan mendatangkan tenaga akhli dari luar daerah serta dukungan modal yang memadai.

d. Pola Pengolahan Lahan Berpindah Menjadi Menetap. Pola budaya masyarakat Dayak yang mengolah lahan secara berpindah sudah terbutkti dapat merusak hutan, permukaan tanah dan kesuburan tanah. Pola budaya ini selain merugikan masyarakat Kalteng, juga sangat menggangu dalam penyiapan logistik wilayah, karena sulit untuk menentukan lahan-lahan yang dapat dijadikan sebagai sumber logistik wilayah. Dengan demikian pola budaya ini perlu dirubah dengan pola budaya mengelola lahan secara menetap dengan bimbingan dari unsur instansi terkait.



/25. Pengembangan. . . . . . . .
25. Pengembangan Personil Binter. Kekurangan personil teritorial merupakan variable yang berbanding terbalik dengan upaya Binter di jajaran Korem 102/PP. Dalam rangka mengupayakan pelaksanaan Binter di wilayah Korem 102/PP perlu dilakukan pengembangan terhadap personil Binter baik kuantitas maupun kualitas dari kekurangan yang ada saat ini. Dengan penambahan personil Binter diharapkan akan dapat menambah dinamika Binter di tingkat Kodim sesuai tuntutan tugas.

26. Peninjauan Doktrin Teritorial dalam Nilai Aplikatifnya. Mengantisipasi perkembangan masyarakat dan situasi di tingkat nasional maupun daerah, maka perlu kiranya dilakukan peninjauan terhadap doktrin teritorial yang ada saat ini, terutama dalam nilai-nilai aplikatifnya. Sebagai wujud nyata adalah menempatkan personil liason (penghubung) di Pemda, setelah diserahkannya otonomi penuh pada pemerintah daerah dalam rangka antisipasi kebuntuan komunikasi antaraparat Binter di daerah. Kondisi perlu diantisipasi mengingat masyarakat telah dengan kritis mempermasalahkan kelembagaan Muspida yang ada selama ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

27. Kesimpulan. Pelaksanaan Binter di wilayah Korem 102/PP saat ini masih perlu terus dioptimalkan untuk menghadapi berbagai kemungkinan perkembangan situasi di masa depan. Adapun upaya kegiatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Mengupayakan pembentukan daerah pangkal perlawanan sebagai basis berkiprahnya peran teritorial dalam rangka memberikan sumbang tenaga, karya dan pemikiran untuk masyarakat Kalteng.

b. Mengupayakan pelaksanaan meningkatkan sumber daya masyarakat Kalteng sehingga memiliki kemampuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam rangka mencapai tingkat ketahanan yang lebih baik.


/c. Mengupayakan. . . . . . . .

c. Mengupayakan pembinaan kondisi sosial masyarakat Kalteng agar dapat berkiprah dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya sehingga mempengaruhi kondisi sosial yang ada saat ini kearah yang lebih baik.

d. Mengupayakan personil Binter agar mampu berperan sesuai dengan tuntutan tugas dihadapkan dengan perkembangan masyarakat Kalteng di masa depan.

e. Mengupayakan pelaksanaan doktrin teritorial, terutama dalam nilai-nilai aplikatifnya dihadapkan pada tuntutan perkembangan masyarakat Kalteng di masa depan.

28. Saran. Melalui pembahasan tersebut diatas, maka untuk dapat mengoptimalkan pelaksanaan Binter di Kalteng dihadapkan dengan perkembangan masyarakat Kalteng di masa depan dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :

a. Melibatkan yayasan Kartika Eka Paksi dalam membuat prasarana jalan dan sumber logistik wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kalteng dan pembentukan daerah Pangkal Perlawanan di wilayah Korem 102/PP.

b. Memberikan saran penempatan kelompok laison personil TNI di Pemda dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan menjelang pelaksanaan otonomi daerah dengan tugas-tugas memberikan masukan kepada Kepala Daerah dalam mengambil kebijaksanaan pembangunan di daerah.

c. Memberikan saran kepada Pemda untuk memprogramkan perubahan pola budaya masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang ada meliputi :

1) Pola budaya Petik jual menjadi Olah, Tanam, Petik dan Jual.

2) Pola budaya Tebang Jual menjadi Olah, Tanam, Tebang dan Jual.

3) Pola budaya Pengolahan barang setengah jadi menjadi barang eksport.

4) Pola budaya pengolahan lahan berpindah menjadi menetap.

/d. Mohon. . . . . . . .
d. Mohon Satuan Atasan mengalokasikan penambahan personil Binter untuk Korem 102/PP sehingga mencapai kekuatan 90 %.


PENUTUP

29. Demikian tulisan ini dibuat untuk dapatnya dijadikan sebagai bahan masukan kepada Komando Atasan.

Palangka Raya, 1 Oktober 1999
PENULIS


. I WAYAN MIDHIO .
MAYOR KAV NRP 29586




















DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN. ……………………………………………………… 1
1. Umum……………………………………………………………. 1
2. Maksud dan Tujuan ……………………………………………. 2
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut …………………………………… 2
4. Metoda dan Pendekatan. ……………………………………….. 2
5. Pengertian………………………………………………………… 3
II KONDISI BINTER SAAT INI…………………………….. . . . . . . . . . . 4
6. Umum. ………………………………………………………….. 4
7. Kondisi Geografi. ……………………………………………… 4
8. Kondisi Demografi. …………………………………………….. 4
9. Kondisi Sosial. …………………………………………………. 5
10. Kondisi Aparat Teritorial. ……………………………………… 5
11. Kondisi Piranti Lunak. …………………………………………. 5
III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI. ……………………. 6
12. Umum. ………………………………………………………….. 6
13. Faktor Ekstern…………………………………………………… 6
14. Faktor Intern…………………………………………………….. 7
IV ANALISIS PERMASALAHAN………………………………………… 8
15. Umum. …………………………………………………………. 8
16. Permasalahan Geografi. ……………………………………….. 8
17. Permasalahan Demografi……………………………………….. 10
18. Permasalahan Kondisi Sosial…………………………………… 11
19. Permasalahan Personil………….………………………………. 13
20. Permasalahan Piranti Lunak…….……………………………… 13
V UPAYA PENINGKATAN PELAKSANAAN BINTER… . ………….. 14
21. Umum ………………………………………………………… 14
22. Penyiapan Pangkal Perlawanan. ………………………………. 15

/23. Mencanangkan. . . . . . . .

23. Mencanangkan Program Pembauran dan Pembangunan. …… 15
24. Merubah pola budaya masyarakat. ……………………………. 15
25. Pengembangan Personil Binter. ……………………………… 17
26. Peninjauan Terhadap Doktrin Teritorial Dalam Nilai
Aplikatifnya. …………………………………………………………… 17
VI KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………. 18
27. Kesimpulan. …………………………………………………. 18
28. Saran. ……………………………………………………….. 18
VI PENUTUP…………………………………………………………… 19
29. Demikian……………………………………………………. 19

________________________























UPAYA PENINGKATAN PELAKSANAAN PEMBINAAN TERITORIAL DI WILAYAH KOREM 102 PANJUPANJUNG

( KARANGAN MILITER INI DITULIS
SEBAGAI BAHAN USUL KENAIKKAN PANGKAT
DI LINGKUNGAN KODAM VI/ TPR )














Palangka Raya, 1 Oktober 1999




DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Kalimantan Tengah Dalam Data, terbitan tahun 1997 oleh BPS Kalimantan Tengah.
2. Buku Paradigma Baru Peran TNI abad XXI terbitan tahun 1998 oleh Sesko TNI.
3. Buku Petunjuk Teritorial TNI AD terbutan 1992 oleh Suad.
4. Buku Vademikum Teritorial tahun 1988 terbitan Suad.
5. Buku Laporan Program Kerja Korem 102/PP T.A 1998/1999.
6. Buku Renbinter Korem 102/PP tahun 1998.

------------------------------------






[1] . Data Kalteng dalam angka dalam tahun 1997. . . . . . . . . . . . .
[2] Data Kalteng dalam angka tahun 1997.
[3] Renbinter Korem 102/PP
[4] laporan Kekuatan Personil Rem 102/PP T.A 1999/2000.
[5] Paradigma Baru Peran TNI.